SELAMAT DATANG DI PORTAL SDN 2 GEGESIK WETAN

Pages

Kamis, 21 Januari 2016

Sejarah Gegesik

Pangeran Gesang/Ki Gede Gesik berkedudukan di Gesik. Tengah tani mempunyai tiga anak laki-laki dan satu orang anak perempuan yaitu Ki Jagabaya, Ki Sumerang, Ki Baluran dan Nyi Mertasari. Ketika menginjak dewasa, keempat anak itu meminta untuk menguasai tanah cakrahan yang dimiliki ayahnya jauh sebelum dilaksanakan babad hutan. Atas permintaan anak-anaknya itu Ki Gede Gesik mengadakan perundingan dengan Ki Kutub (Sunan Gunung Jati) dan Ki Sangkan (Ki Kuwu Cirebon ), yang hasilnya di terima dan disetujui bersama.

Ki Gede Gesik selanjutnya memerintahkan keempat anaknya untuk membagi tanah cakrahan miliknya yang terletak di bagian utara perbatasan tanah Cirebon di sertai seorang utusan Ki Kutub yang bernama Ki Warga asal danalaya, guna menyaksikan dan memberikan pertimbangan dalam pembagian tanah itu. Setelah sampai di tanah cakrahan yang akan dibagikan, mereka menemui jalan buntu karena ketiga anak laki-laki mempunyai pendirian bertentangan dengan saudaranya yang permpuan.

Ketiganya berpendirian bahwa pembagian untuk anak laki-laki harus berbeda dengan perempuan. Anak perempuan cukup mendapat tanah payung. Tentu saja pendirian ketiga saudaranya itu ditentang Nyi Mertasari, karena menurutnya pembagian harus sama luas. Pertentangan pendapat ini cukup memakan waktu lama dan kecil harapan dapat diselesaikan, sedang Ki Warga sendiri tidak sanggup lagi mengatasinya.

Oleh karena cukup lama tidak ada kabar berita, Ki Kutub sangat khawatir akan keselamatan Ki Warga dan selanjutnya memerintahkan Ki Panunggul asal Pajajaran menyusul ke tanah cakrahan untuk mengetahui keberadaan mereka.

Setelah mendapat keterangan Ki Warga bahwa pembagian tanah cakrahan belum terlaksana bahkan menimbulkan percekcokan, Ki Panunggul membuat kebijakan dengan mengadakan sayembara yang diterima semua pihak dimana Ki Panunggul bertindak sebagai juri dan Ki Warga sebagai saksi. Di katakan oleh Ki Panunggul kepada mereka bahwa “Barang siapa diantara mereka dapat mendatangkan jenis-jenis hewan isi hewan isi hutan, maka tanah cakrahan ayahnya seluruhnya menjadi miliknya .”

Berturut-turut sayembara dimulai dari Ki Jagabaya dan terakhir Nyi Mertasari.
1.Ki Jagabaya : dalam waktu sekejap dapat menghadirkan kuda berekor panjang berkerocok baja, dan seekor anjing berbulu tebal.

2.Ki Sumerang : Setelah tanganya menepak air sungai tiba-tiba menjadi kering (Kalisat) dan muncul buaya putih yang cukup besar.

3.Ki Baluran : Dengan tusukan jarinya kedalam tanah muncullah seekor ular yang besar seperti pohon kelepa.

4.Nyi Mertasari : Menunjukan tangannya ke kanan dan kekiri sambil menyebut banteng, macan, singa, badak, maka berdatanglah binatang-binatang yang di sebutnya itu.

Selesai melakukan sayembara, Ki Panunggul selaku juri melakukan penilaian seperti berikut:
1.Hasil Ki Jagabaya : Kuda berekor panjang dan anjing berbulu tebal tidak di anggap hewan isi hutan melainkan hewan piaraan.

2.Hasil Ki Sumerang : buaya putih yang tidak kecil dianggap hewan laut.

3.Hasil Ki Baluran : Ular sebesar pohon kelapa dianggap hewan biasa dan terdapat di mana-mana.

4.Hasil Nyi Mertasari : banteng, macan, singa, dan badak dinyatakan benar tempatya di hutan dan Nyi Mertasari dinyatakan sebagai pemenang sayembara.

Atas kemenangannya itu, seluruh tanah cakrahan dinyatakan sebagai hak milik Nyi Mertasari, sedang ketiga saudaranya tidak mendapat kekuasaan/hak atas tanah ayahnya itu sedikit pun. Setelah penyataan dan penyerahan tanah pada Nyi Mertasari, Ki Panunggul bersama Ki Warga pulang untuk menyampaikan laporan kepada Ki Kutub mengenai segala sesuatu yang terjadi pada pembagian tanah cakrahan Ki gede gesik, sejak menemui jalan buntu hingga akhirnya di selenggarakan sayembara yang diterima dengan baik oleh Ki Kutub.

Ketiga anak laki-laki yang gagal/kalah dalam sayembara merasa menyesal dan kecewa sesudah ditinggalkan Ki Panunggul dan Ki Warga. Tidak lama kemudian datanglah Ki Warsiki dari Kedungdalem menghampiri ketiganya dan menanyakan mengapa mereka terlihat gundah, murung dan sedih.

Pertanyaan Ki Warsiki dijawab dengan terus terang, dan diceritakan oleh ketiga anak laki-laki Ki Gede Gesik itu dari awal sampai akhir. Setelah Ki warsiki mengetahui duduk persoalannya, ia menyarankan agar ketiga anak itu segera menghadap Ki Kutub supaya bersedia meninjau kembali keputusan sayembara yang dilakukan Ki Panunggul.

Saran Ki Warsiki diterima dengan baik, akan tetap mereka tidak berani menghadap langsung Ki Kutub. Mereka akhirnya meminta bantuan dan pertolongan Ki Warsiki untuk menghadap Ki Kutub menyampaikan ketidak puasan atas hasil sayembara Ki Panunggul. Ki Warsiki menyatakan bersedia dan sanggup menghadap Ki Kutub untuk menyampaikan persoalan itu, dengan permintaan apabila usahanya berhasil/disetujui Ki Kutub, ia meminta diberi bagian tanah cakrahan sebagai tanda jasa.

Dengan penuh keyakinan Ki Warsiki pergi menghadap Ki Kutub. Sesampainya di keraton, ia menyampaikan maksud kunjungannya dan menceritakan ketidak puasan ketiga anak Ki Gede Gesik dalam pembagian tanah cakrahan dengan cara sayembara dan meminta pertimbangan Ki Kutub supaya meninjau kembali keputusan Ki Panunggul. Ki Kutub menyatakan bahwa hal itu bisa saja dilakukan, asalkan Nyi Mertasari sebagai pemenang tanpa paksaan bersedia berunding.

Bukan main gembiranya Ki Warsiki setelah mendengar jawaban Ki kutub. Kemudian Ki Warsiki menemui Nyi Mertasari dan membujuknya supaya mau berunding kembali sesama ketiga saudaranya dalam persoalan sayembara. Atas pengaruh Ki Warsihi, Nyi Mertasari menyatakan kesediaannya untuk meninjau kembali keputusan hasil sayembara, dan akhirnya Nyi Mertasari memberikan sebagian tanah cakrahan kepada saudara-saudaranya dan ia menentukan sendiri batas-batas tanah yang diberikan kepada ketiga sadaranya itu.

Ki Jagabaya diberi tanah bagian sebelah utara. Ki Sumirang bagian selatan, Ki Buluran bagian barat laut, dan sisanya yang ada ditengah-tengah adalah bagian Nyi Mertasari sendiri. Setelah pembagian tanah dapat diselesaikan dan diterima semua pihak, mereka kemudian berunding kembali dan menetapkan Ki Jagabaya sebagai Ki Gede Jagapura, Ki Sumirang sebagai Ki Gede Bayalangu, Ki Baluran sebagai Ki Gede Guwa dan Nyi Mertasari sebagai Ki Gede Gesik sebagai pemimpin didaerah itu, karena keunggulanya dalam sayembara.

Sesuai janji untuk memberikan tanda jasa, Ki Gede Jagapura memberi tanah yang terletak sebelah selatan Jagapura blok Situnggak. Ki Gede Bayalangu memberi tanah di blok Sikacang, dan Nyi Gede Gesik sekalipun tidak menjanjikan memberi tanah juga di blok Sijinten. Adapun Ki Gede Guwa tidak memberi tanah, karena letaknya terlalu jauh. Sebagai gantinya Ki Warsihi meminta supaya Ki Gede Guwa bersedia memikul kebutuhan adat penduduk Kedungdalem berupa gamelan panggung. Oleh karena itu hingga sekarang terdapat tanah bagian Kedungdalem, yaitu blok Situnggak, Sikacang, Sijinten dan blok Panggung Wayang.

Nyi Gede Gesik meskipun seorang wanita akan tetapi besar sekali hasratnya untuk menguasai tanah, sehingga mengadakan perluasan dengan menebang hutan yang berada ditepi pantai sebelah timur dari daerahnya yaitu didaerah Luwung (Leuweung/hutan) Gesik (sekarang terletak dikecamatan kerangkeng kabupaten Indramayu).

Setelah Ki Kutub mengetahui Nyi Gede Gesik bermaksud menguasai Luwung Gesik, ia melarangnya. Menurut Ki Kutub tanah itu khusus disediakan untuk para dedemit dan siluman. Oleh karena itu Nyi Gede Gesik tidak jadi melakukan perluasan.

Ki Panunggul sangat tertarik akan kecantikan Nyi Gede Gesik, dan bermaksud menjadikannya sebagai istri. Atas saran Ki Warga, Ki Panunggul menemui lebe embat-embat untuk menikahkannya, akan tetapi Ki Lebe tidak bisa memenuhinya dan disarankan untuk menemui Ki Lebe Bakung, Kemudian Ki Lebe Bakung barsama Ki Panunggul berangkat menuju Gesik untuk melaksanakan perkawinan dengan Nyi Gede Gesik.

Dari perkawinan dengan Ki Panunggul, Nyi Gede Gesik mempunyai keturunan dua orang. Anak laki-laki diberi nama Raja Pandita dan yang wanita tidak disebut namanya. Raja Pandita setelah dewasa disayangi oleh Ki Sangkan dan ditugaskan menjaga keamanan didaerah ibunya. Adapun anak yang wanita disayangi oleh lebe bakung, dank arena sayangnya Ki Lebe Bakung meminta pertimbangan pada ki Warga untuk menikahinya.
Sambil tersenyum Ki Warga mengatakan kepada Ki Lebe Bakung demikian “kapi asem temen apa ora lingsem pas ngawinaken m’boke, anake arep dikawin dewek”. Kerana kata-kata ini Ki Lebe Bakung selanjutnya disebut Ki Lebe Asem. Pada akhirnya terlaksana juga pernikahan tersebut.

Dari perkawinan ini Ki Lebe Asem mempunyai keturunan dua anak laki-laki. Setelah dewasa kedua anak ini meminta kepada orang tuanya untuk dapat menguasai daerah kekuasaan. Atas saran Ki Warga, tanah kekuasaan Nyi Gede Gesik dibagi dan diserahkan kepada kedua cucunya itu.

•Bagian daerah keradenan kemudian menjadi Gegesik Kidul.
•Bagian daerah Ketembolan menjadi Gegesik Lor.

Oleh karena Ki Lebe Asem mempunyai putra lagi sebanyak dua orang, tanah Nyi Gede Gesik yang telah dibagi menjadi dua itu kemudian dibagi dua bagian lagi. Keradenan (Gegesik Kidul) menjadi karacenan dan kedayunan (Gegesik Wetan); ketembolan (Gegesik Lor) menjadi ketembolan dan kecawetan (Gegesik Kulon). Sebutan tersebut menunjukan ciri-ciri pemimpin dan rakyat dari masing-masing desa sebagai berikut. Gegesik Kidul/Kradenan pemimpinnya bersifat keningrat-ningratan, rakyatnya suka/pandai mengarang kata-kata (nganggit omongan).

Pimpinan Gegesik Wetan/Kedayungan menonjol dalam hal baik maupun buruk, rakyatnya suka beramai-ramai tanpa isi. Gegesik Lor/Ketembolan pemimpinnya ditaati bawahan, rakyatnya senantiasa menggerutu dibelakang; sedangkan Gegesik Kulon/Kecawetan Pemimpinnya disiplin, rakyatnya senantiasa menyerah tanpa bekas.

Di Gegesik terdapat BENDA KUNO yang lazim disebut”Zimat”, yaitu berupa Alat Alat Tenun Kentrung (tenun kampung). Hingga sekarang Zimat tersebut masih tersimpan dibalai desa Gegesik Kidul. Benda kuno yang pada mulanya diduga milik Nyi Gede Gesik ini, pada waktu sehabis musim tanam sawah (malam jumat kliwon) diturunkan dari tempat penyimpanannya untuk dibersihkan (dicuci) setelah pencucian benda kuno ini, Kuwu bersama pamong desa menjadi kebiasaan atau tradisi mengelilingi perbatasan tanah sawah didesanya masing-masing.

Benda kuno lainnya berupa alat pengangkut, berkepala ular dari kayu disebut “GERUDA”. Geruda ini kepalanya di buat oleh seorang barnama Ki Sam dari desa Bayalangu, sedang alat-alat kelengkapan lainnya dibuat kemudian oleh Ki Siti Sabil dari Gegesik Kidul dan Ki Sali dari Gegesik Kulon. Pada tiap tanggal 25 Bulan Maulud benda ini diturunkan dari tempat penyimpanannya (dibalai Desa Gegesik Lor) dan di bersihkan, untuk diikut sertakan dalam Pawai Muludan Gegesik.