Pangeran Gesang/Ki Gede Gesik berkedudukan
di Gesik. Tengah tani mempunyai tiga anak laki-laki dan satu orang anak
perempuan yaitu Ki Jagabaya, Ki Sumerang, Ki Baluran dan Nyi Mertasari. Ketika
menginjak dewasa, keempat anak itu meminta untuk menguasai tanah cakrahan yang
dimiliki ayahnya jauh sebelum dilaksanakan babad hutan. Atas permintaan
anak-anaknya itu Ki Gede Gesik mengadakan perundingan dengan Ki Kutub (Sunan
Gunung Jati) dan Ki Sangkan (Ki Kuwu Cirebon ), yang hasilnya di terima dan
disetujui bersama.
Ki Gede Gesik selanjutnya memerintahkan
keempat anaknya untuk membagi tanah cakrahan miliknya yang terletak di bagian
utara perbatasan tanah Cirebon di sertai seorang utusan Ki Kutub yang bernama Ki
Warga asal danalaya, guna menyaksikan dan memberikan pertimbangan dalam
pembagian tanah itu. Setelah sampai di tanah cakrahan yang akan
dibagikan, mereka menemui jalan buntu karena ketiga anak laki-laki mempunyai
pendirian bertentangan dengan saudaranya yang permpuan.
Ketiganya berpendirian bahwa pembagian
untuk anak laki-laki harus berbeda dengan perempuan. Anak perempuan cukup
mendapat tanah payung. Tentu saja pendirian ketiga saudaranya itu ditentang Nyi
Mertasari, karena menurutnya pembagian harus sama luas. Pertentangan pendapat
ini cukup memakan waktu lama dan kecil harapan dapat diselesaikan, sedang Ki Warga
sendiri tidak sanggup lagi mengatasinya.
Oleh karena cukup lama tidak ada kabar
berita, Ki Kutub sangat khawatir akan keselamatan Ki Warga dan selanjutnya
memerintahkan Ki Panunggul asal Pajajaran menyusul ke tanah cakrahan untuk
mengetahui keberadaan mereka.
Setelah mendapat keterangan Ki Warga bahwa
pembagian tanah cakrahan belum terlaksana bahkan menimbulkan percekcokan, Ki
Panunggul membuat kebijakan dengan mengadakan sayembara yang diterima semua
pihak dimana Ki Panunggul bertindak sebagai juri dan Ki Warga sebagai saksi. Di
katakan oleh Ki Panunggul kepada mereka bahwa “Barang siapa diantara mereka
dapat mendatangkan jenis-jenis hewan isi hewan isi hutan, maka tanah cakrahan
ayahnya seluruhnya menjadi miliknya .”
Berturut-turut sayembara dimulai dari Ki
Jagabaya dan terakhir Nyi Mertasari.
1.Ki Jagabaya : dalam waktu sekejap dapat
menghadirkan kuda berekor panjang berkerocok baja, dan seekor anjing berbulu
tebal.
2.Ki Sumerang : Setelah tanganya menepak air
sungai tiba-tiba menjadi kering (Kalisat) dan muncul buaya putih yang cukup
besar.
3.Ki Baluran : Dengan tusukan jarinya
kedalam tanah muncullah seekor ular yang besar seperti pohon kelepa.
4.Nyi Mertasari : Menunjukan tangannya ke
kanan dan kekiri sambil menyebut banteng, macan, singa, badak, maka
berdatanglah binatang-binatang yang di sebutnya itu.
Selesai melakukan sayembara, Ki Panunggul
selaku juri melakukan penilaian seperti berikut:
1.Hasil Ki Jagabaya : Kuda berekor panjang
dan anjing berbulu tebal tidak di anggap hewan isi hutan melainkan hewan
piaraan.
2.Hasil Ki Sumerang : buaya putih yang
tidak kecil dianggap hewan laut.
3.Hasil Ki Baluran : Ular sebesar pohon
kelapa dianggap hewan biasa dan terdapat di mana-mana.
4.Hasil Nyi Mertasari : banteng, macan,
singa, dan badak dinyatakan benar tempatya di hutan dan Nyi Mertasari
dinyatakan sebagai pemenang sayembara.
Atas kemenangannya itu, seluruh tanah
cakrahan dinyatakan sebagai hak milik Nyi Mertasari, sedang ketiga saudaranya
tidak mendapat kekuasaan/hak atas tanah ayahnya itu sedikit pun. Setelah penyataan dan penyerahan tanah
pada Nyi Mertasari, Ki Panunggul bersama Ki Warga pulang untuk menyampaikan
laporan kepada Ki Kutub mengenai segala sesuatu yang terjadi pada pembagian
tanah cakrahan Ki gede gesik, sejak menemui jalan buntu hingga akhirnya di
selenggarakan sayembara yang diterima dengan baik oleh Ki Kutub.
Ketiga anak laki-laki yang gagal/kalah
dalam sayembara merasa menyesal dan kecewa sesudah ditinggalkan Ki Panunggul
dan Ki Warga. Tidak lama kemudian datanglah Ki Warsiki dari Kedungdalem menghampiri
ketiganya dan menanyakan mengapa mereka terlihat gundah, murung dan sedih.
Pertanyaan Ki Warsiki dijawab dengan terus
terang, dan diceritakan oleh ketiga anak laki-laki Ki Gede Gesik itu dari awal
sampai akhir. Setelah Ki warsiki mengetahui duduk persoalannya, ia menyarankan
agar ketiga anak itu segera menghadap Ki Kutub supaya bersedia meninjau kembali
keputusan sayembara yang dilakukan Ki Panunggul.
Saran Ki Warsiki diterima dengan baik, akan
tetap mereka tidak berani menghadap langsung Ki Kutub. Mereka akhirnya meminta
bantuan dan pertolongan Ki Warsiki untuk menghadap Ki Kutub menyampaikan
ketidak puasan atas hasil sayembara Ki Panunggul. Ki Warsiki menyatakan
bersedia dan sanggup menghadap Ki Kutub untuk menyampaikan persoalan itu,
dengan permintaan apabila usahanya berhasil/disetujui Ki Kutub, ia meminta
diberi bagian tanah cakrahan sebagai tanda jasa.
Dengan penuh keyakinan Ki Warsiki pergi
menghadap Ki Kutub. Sesampainya di keraton, ia menyampaikan maksud kunjungannya
dan menceritakan ketidak puasan ketiga anak Ki Gede Gesik dalam pembagian tanah
cakrahan dengan cara sayembara dan meminta pertimbangan Ki Kutub supaya
meninjau kembali keputusan Ki Panunggul. Ki Kutub menyatakan bahwa hal itu bisa
saja dilakukan, asalkan Nyi Mertasari sebagai pemenang tanpa paksaan bersedia
berunding.
Bukan main gembiranya Ki Warsiki setelah
mendengar jawaban Ki kutub. Kemudian Ki Warsiki menemui Nyi Mertasari dan
membujuknya supaya mau berunding kembali sesama ketiga saudaranya dalam
persoalan sayembara. Atas pengaruh Ki Warsihi, Nyi Mertasari menyatakan
kesediaannya untuk meninjau kembali keputusan hasil sayembara, dan akhirnya Nyi
Mertasari memberikan sebagian tanah cakrahan kepada saudara-saudaranya dan ia
menentukan sendiri batas-batas tanah yang diberikan kepada ketiga sadaranya
itu.
Ki Jagabaya diberi tanah bagian sebelah
utara. Ki Sumirang bagian selatan, Ki Buluran bagian barat laut, dan sisanya
yang ada ditengah-tengah adalah bagian Nyi Mertasari sendiri. Setelah pembagian
tanah dapat diselesaikan dan diterima semua pihak, mereka kemudian berunding
kembali dan menetapkan Ki Jagabaya sebagai Ki Gede Jagapura, Ki Sumirang
sebagai Ki Gede Bayalangu, Ki Baluran sebagai Ki Gede Guwa dan Nyi Mertasari sebagai
Ki Gede Gesik sebagai pemimpin didaerah itu, karena keunggulanya dalam
sayembara.
Sesuai janji untuk memberikan tanda jasa,
Ki Gede Jagapura memberi tanah yang terletak sebelah selatan Jagapura blok
Situnggak. Ki Gede Bayalangu memberi tanah di blok Sikacang, dan Nyi Gede Gesik
sekalipun tidak menjanjikan memberi tanah juga di blok Sijinten. Adapun Ki Gede
Guwa tidak memberi tanah, karena letaknya terlalu jauh. Sebagai gantinya Ki
Warsihi meminta supaya Ki Gede Guwa bersedia memikul kebutuhan adat penduduk
Kedungdalem berupa gamelan panggung. Oleh karena itu hingga sekarang terdapat
tanah bagian Kedungdalem, yaitu blok Situnggak, Sikacang, Sijinten dan blok
Panggung Wayang.
Nyi Gede Gesik meskipun seorang wanita
akan tetapi besar sekali hasratnya untuk menguasai tanah, sehingga mengadakan
perluasan dengan menebang hutan yang berada ditepi pantai sebelah timur dari
daerahnya yaitu didaerah Luwung (Leuweung/hutan) Gesik (sekarang terletak
dikecamatan kerangkeng kabupaten Indramayu).
Setelah Ki Kutub mengetahui Nyi Gede Gesik
bermaksud menguasai Luwung Gesik, ia melarangnya. Menurut Ki Kutub tanah itu
khusus disediakan untuk para dedemit dan siluman. Oleh karena itu Nyi Gede
Gesik tidak jadi melakukan perluasan.
Ki Panunggul sangat tertarik akan
kecantikan Nyi Gede Gesik, dan bermaksud menjadikannya sebagai istri. Atas
saran Ki Warga, Ki Panunggul menemui lebe embat-embat untuk menikahkannya, akan
tetapi Ki Lebe tidak bisa memenuhinya dan disarankan untuk menemui Ki Lebe
Bakung, Kemudian Ki Lebe Bakung barsama Ki Panunggul berangkat menuju Gesik
untuk melaksanakan perkawinan dengan Nyi Gede Gesik.
Dari perkawinan dengan Ki Panunggul, Nyi
Gede Gesik mempunyai keturunan dua orang. Anak laki-laki diberi nama Raja
Pandita dan yang wanita tidak disebut namanya. Raja Pandita setelah dewasa
disayangi oleh Ki Sangkan dan ditugaskan menjaga keamanan didaerah ibunya.
Adapun anak yang wanita disayangi oleh lebe bakung, dank arena sayangnya Ki
Lebe Bakung meminta pertimbangan pada ki Warga untuk menikahinya.
Sambil tersenyum Ki Warga mengatakan
kepada Ki Lebe Bakung demikian “kapi asem temen apa ora lingsem pas ngawinaken
m’boke, anake arep dikawin dewek”. Kerana kata-kata ini Ki Lebe Bakung
selanjutnya disebut Ki Lebe Asem. Pada akhirnya terlaksana juga pernikahan
tersebut.
Dari perkawinan ini Ki Lebe Asem mempunyai
keturunan dua anak laki-laki. Setelah dewasa kedua anak ini meminta kepada
orang tuanya untuk dapat menguasai daerah kekuasaan. Atas saran Ki Warga, tanah
kekuasaan Nyi Gede Gesik dibagi dan diserahkan kepada kedua cucunya itu.
•Bagian daerah keradenan kemudian menjadi
Gegesik Kidul.
•Bagian daerah Ketembolan menjadi Gegesik
Lor.
Oleh karena Ki Lebe Asem mempunyai putra
lagi sebanyak dua orang, tanah Nyi Gede Gesik yang telah dibagi menjadi dua itu
kemudian dibagi dua bagian lagi. Keradenan (Gegesik Kidul) menjadi karacenan
dan kedayunan (Gegesik Wetan); ketembolan (Gegesik Lor) menjadi ketembolan dan
kecawetan (Gegesik Kulon). Sebutan tersebut menunjukan ciri-ciri pemimpin dan
rakyat dari masing-masing desa sebagai berikut. Gegesik Kidul/Kradenan
pemimpinnya bersifat keningrat-ningratan, rakyatnya suka/pandai mengarang
kata-kata (nganggit omongan).
Pimpinan Gegesik Wetan/Kedayungan menonjol
dalam hal baik maupun buruk, rakyatnya suka beramai-ramai tanpa isi. Gegesik
Lor/Ketembolan pemimpinnya ditaati bawahan, rakyatnya senantiasa menggerutu
dibelakang; sedangkan Gegesik Kulon/Kecawetan Pemimpinnya disiplin, rakyatnya
senantiasa menyerah tanpa bekas.
Di Gegesik terdapat BENDA KUNO yang lazim
disebut”Zimat”, yaitu berupa Alat Alat Tenun Kentrung (tenun kampung). Hingga
sekarang Zimat tersebut masih tersimpan dibalai desa Gegesik Kidul. Benda kuno
yang pada mulanya diduga milik Nyi Gede Gesik ini, pada waktu sehabis musim
tanam sawah (malam jumat kliwon) diturunkan dari tempat penyimpanannya untuk
dibersihkan (dicuci) setelah pencucian benda kuno ini, Kuwu bersama pamong desa
menjadi kebiasaan atau tradisi mengelilingi perbatasan tanah sawah didesanya
masing-masing.
Benda kuno lainnya berupa
alat pengangkut, berkepala ular dari kayu disebut “GERUDA”. Geruda ini
kepalanya di buat oleh seorang barnama Ki Sam dari desa Bayalangu, sedang
alat-alat kelengkapan lainnya dibuat kemudian oleh Ki Siti Sabil dari Gegesik
Kidul dan Ki Sali dari Gegesik Kulon. Pada tiap tanggal 25 Bulan Maulud benda
ini diturunkan dari tempat penyimpanannya (dibalai Desa Gegesik Lor) dan di
bersihkan, untuk diikut sertakan dalam Pawai Muludan Gegesik.